Tahun 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan persetujuan DPRD DKI Jakarta, menetapkan tiga paket Peraturan Daerah DKI (Perda No. 13, 14 dan 15) tentang perubahan bentuk badan hukum RSUD Cengkareng dan Pasar Rebo, serta Yayasan Rumah Sakit Haji Jakarta menjadi badan hukum Perseroan Terbatas (PT).
Kebijakan Pemprov DKI ini merupakan contoh adanya dis-orientasi kebijakan pelayanan kesehatan di level Pemerintah Daerah. Ditengah fakta sejumlah warga miskin tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar karena kendala biaya, justru yang dilakukan Pemprov DKI mengubah RSUD menjadi entitas bisnis berupa PT. Harusnya Pemprov DKI membangun charity hospital, sehingga semua warga DKI, termasuk orang miskin, ada jaminan dapat mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar.
Walaupun pada akhirnya, atas permohonan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) oleh sejumlah masyarakat dan lembaga, melalui Putusan No. 05 P/UM/2005, MA membatalkan paket tiga Perda di atas. Namun kasus di Pemprov DKI menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya bangunan konsepsi kebijakan pelayanan kesehatan yang disusun berbasis kepada kepentingan masyarakat.
Layanan Vs Bisnis
Kecenderungan maraknya pelayanan kesehatan menjadi obyek bisnis yang dikelola badan hukum komersial (Perseroan Terbatas), khususnya di sejumlah kota besar, dari segi etika menimbulkan sejumlah persoalan. Pertama, pelayanan kesehatan merupakan suatu hak dan karena itu tidak pantas dijadikan komoditas ekonomi. Jika pelayanan kesehatan diserahkan kepada mekanisme pasar, bagi banyak orang muncul siatuasi yang sangat tidak adil dan karena itu tidak etis.
Kedua, bisnis dan pelayanan kesehatan merupakan dua bidang yang disertai tuntutan etis yang cukup berbeda, sehingga mudah timbul konflik kepentingan, bila dua bidang ini dikombinasikan dalam orang atau lembaga yang sama (Dr . K. Berten,1995).
Rumah sakit berbadan hukum komersial berupa PT mendapatkan uang lebih banyak sah-sah saja, asal dilakukan secara fair. Masalahnya dalam pelayanan kesehatan, hampir tidak mungkin terjadi transaksi yang fair. Sebab pasien tidak punya pilihan, pasien tidak mengetahui apakah ia memang benar sakit, apakah ia memang membutuhkan obat yang mahal, apakah memang butuh operasi dan segala macam ketidaktahuan lainnya.
Selain ketidaktahuan, pasien juga memiliki ketakutan yang luar biasa bahwa penyakitnya dapat menimbulkan kematian, kecacatan atau penderitaan lain yang berkepanjangan. Pasien sudah menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kepada dokter, yang diberi wewenang oleh hukum untuk melakukan tindakan intervensi yang berbahaya kepada dirinya, seperti menyuntikan obat, membedah (melukai) tubuh pasien dan sebagainya.
Profesi dokter sebagai tulang punggung dalam pelayanan kesehatan adalah satu-satunya profesi yang diberikan kewenangan hukum yang begitu besar dari seseorang, itulah sebabnya seorang dokter harus disumpah.
Dengan demikian, menjadi persoalan serius apabila dokter tergiur, terdesak atau dipaksa untuk menghasilkan uang dari transaksi antara dokter dengan pasien. Di rumah sakit nirlaba-pun perilaku dokter yang menyimpang dapat terjadi. Bisa dibayangkan apabila rumah sakit berbadan hukum komersial berupa PT yang orientasinya mencari untung.
Di rumah sakit yang berbadan hukum PT, dokter akan ditarget, dijadikan revenue center, pusat produksi dan pusat laba. Maka dengan kondisi pasien yang pasrah, ketidaktahuan(ignorance), dan apabila punya uang, maka dengan mudah pasien berada dalam posisi dibawah todongan senjata. Mau bayar atau nyawa melayang. Dalam kondisi seperti ini, berapapun akan dibayar. Dalam ilmu ekonomi, permintaan pasien inelastic terhadap harga dan penghasilan.
Seorang yang sakit tidak bisa bekerja, tidak bisa berproduksi, tidak bisa belajar dan segala “tidak bisa” lainnya, Kalaupun yang sakit seorang anak, kegiatan produksi orangtuanya juga akan terganggu. Meskipun seseorang tidak tergolong miskin, orang sakit adalah orang yang tidak berdaya.
Itulah sebabnya di sejumlah negara seperti Jepang, Korea dan Taiwan rumah sakit swasta pun tidak diperkenankan berbentuk PT yang berorientasi mencari untung, karena pemerintahnya sangat memahami ketika rakyatnya sakit dalam keadaan “tidak berdaya”, ignorance, dan setiap saat menjadi korban dari sifat alamiah transaksi pelayanan kesehatan yang hampir tidak mungkin transaksi yang fair.
Tidak Adil
Dari perspektif kepentingan masyarakat, ada dua potensi ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Pertama, masih ada sebagian anggota masyarakat yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar, baik karena kendala geografis maupun kendala biaya. Padahal pelayanan kesehatan tingkat dasar adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin kontitusi.
Kedua, anggota masyarakat yang sudah dapat mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar belum mendapatkan hak-haknya sebagai pasien secara optimal. Dari hak paling elementer berupa hak atas informasi, hak atas catatan kesehatan/rekam medis, hak untuk meminta pendapat kedua, sampai hak untuk mendapat ganti rugi dalam hal terjadinya malpraktik profesi yang berdampak timbulnya kerugian pada pasien/keluarga pasien.
Berangkat dari dua potensi ketidakadilan di atas, ada tiga aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan. Pertama, aksesibilitas, harus ada jaminan setiap masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar dan tidak boleh ada kendala biaya atau geografis dalam mengakses pelayanan kesehatan tingkat dasar.
Kedua, keandalan dalam bentuk masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar keandalan, baik dari sisi sumber daya manusia berupa ditangani oleh petugas yang kompeten dan profesional, serta keandalan dari sisi infrastruktur (sarana dan prasarana).
Ketiga, keterjangkauan dalam bentuk kalau harus membayar, besaran tarif dalam pelayanan kesehatan juga mempertimbangkan kemampuan membayar masyarakat. Karena pelayanan kesehatan merupakan hak, peran negara harus dituntut.(reff:ylki)